DIALEKTIKA KUNINGAN — Proses Seleksi Terbuka (Selter) untuk jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Kuningan menuai sorotan tajam dari pengamat pemerintahan lokal, Sujarwo atau yang akrab disapa Mang Ewo. Jumat 15 Agustus 2025, ia menilai bahwa pelaksanaan Selter Sekda sebelumnya terkesan dipaksakan dan tidak mempertimbangkan masukan strategis dari berbagai pihak.
Menurut Mang Ewo, proses perencanaan Selter Sekda tidak dilakukan secara matang sejak awal tahun 2024. Sebaliknya, inisiasi proses ini baru muncul secara mendadak di pertengahan tahun atas dorongan Penjabat (Pj) Bupati saat itu. Padahal, kata dia, banyak saran agar seleksi tersebut dilakukan setelah Bupati dan Wakil Bupati terpilih resmi dilantik, mengingat pentingnya posisi Sekda dalam mendukung kinerja kepala daerah.
“Sayangnya, saran tersebut tidak diindahkan. Proses seleksi bahkan dikebut, dan pengumuman tiga besar dilakukan pada malam hari sebelum pelantikan Pj Bupati yang baru. Ini jelas tidak sesuai dengan jadwal resmi yang seharusnya dilakukan pertengahan November 2024,” ungkap Mang Ewo.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa berdasarkan regulasi yang berlaku, Bupati terpilih memiliki kewenangan penuh untuk tidak memakai hasil Selter sebelumnya dan bisa mengadakan proses ulang, asalkan mendapat persetujuan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
“Dalam kasus ini, Bupati Kuningan sudah mendapat izin resmi dari Kemendagri untuk mengulang Selter. Jadi, secara hukum tidak ada yang dilanggar. Di banyak daerah juga pernah terjadi hal serupa,” ujarnya.
Terkait isu pemborosan anggaran akibat Selter ulang, Mang Ewo menegaskan bahwa anggaran untuk Selter sebelumnya adalah bagian dari kebijakan Pj Bupati terdahulu. Oleh karena itu, tidak adil jika beban pemborosan dialamatkan pada Bupati dan Wakil Bupati terpilih.
“Justru Selter ulang ini langkah korektif agar Sekda yang terpilih benar-benar sesuai dengan arah pembangunan yang diinginkan kepala daerah hasil pemilu,” jelasnya.
Mang Ewo menandasi dengan mengingatkan pentingnya proses pengisian jabatan strategis dilakukan secara terbuka, tepat waktu, dan mempertimbangkan kesinambungan kepemimpinan demi kelancaran birokrasi daerah.
“Proses seperti ini harus kita kawal agar tidak hanya sah secara hukum, tapi juga kuat secara etika pemerintahan dan legitimasi publik,” pungkasnya.***
Baca juga berita-berita menarik dialektika.id/ dengan klik Google News.
