Dialektika Kuningan — Pasar Modal Indonesia kembali menghadapi gejolak ekstrem pada perdagangan Selasa, 8 April 2025, dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami koreksi tajam hingga memicu “trading halt”.
Menurut Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, fenomena ini mencerminkan kerapuhan struktural pasar keuangan domestik yang diperparah oleh respons otoritas yang dinilai kurang antisipatif.
“Tekanan jual masif yang melanda saham IHSG hingga menyebabkan penghentian perdagangan adalah sinyal bahaya yang tidak bisa diabaikan,” ujarnya.
Ia menyoroti kedalaman koreksi yang melampaui batas wajar, memaksa intervensi otoritas bursa. Meskipun perdagangan sempat dibuka kembali setelah cooling down, saham IHSG tetap berada di zona merah, menunjukkan kuatnya sentimen bearish.
ANH juga mempertanyakan mengapa pelemahan saham IHSG lebih signifikan dibandingkan bursa regional lainnya. “Koreksi moderat yang dialami bursa seperti Malaysia dan Filipina justru mengindikasikan adanya kerentanan spesifik di pasar Indonesia,” jelasnya.
Dia menambahkan bahwa meskipun Indonesia rentan terhadap fluktuasi modal asing, fundamental makro yang diklaim “cukup sehat” seharusnya menjadi penyangga yang lebih kuat.
Struktur Pasar yang Rentan
Achmad mengidentifikasi beberapa faktor internal yang memperburuk kondisi IHSG, seperti dominasi investor ritel yang cenderung melakukan “panic selling” dan porsi signifikan investor asing dengan dana “hot money”.
“Ketika sentimen global memburuk, capital outflow dari investor asing dan aksi jual panik investor ritel menciptakan efek bola salju yang menekan indeks,” paparnya. Ia juga menyoroti kurangnya basis investor institusional domestik yang kuat dan berorientasi jangka panjang, berbeda dengan pasar lain yang lebih stabil.
Selain itu, isu likuiditas, konsentrasi saham pada sektor tertentu seperti komoditas dan perbankan, serta tata kelola perusahaan yang belum merata turut berkontribusi pada pelemahan saham IHSG. “Komposisi IHSG yang didominasi sektor komoditas membuat pasar rentan terhadap volatilitas harga global,” imbuhnya.
Respons Otoritas yang Dipertanyakan
Ahmad mengkritik respons otoritas keuangan yang dinilai lamban dalam memperkuat ketahanan pasar. “Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) cenderung reaktif, bukan preventif,” ujarnya. Ia menekankan bahwa sinyal tekanan seperti berkurangnya aliran modal asing dan fluktuasi nilai tukar rupiah telah terlihat sejak awal tahun, namun langkah antisipatif yang fundamental belum dilakukan.
Meskipun mekanisme seperti “trading halt” dan “circuit breaker” adalah standar, Nur Hidayat menilai bahwa instrumen ini bersifat reaktif. “Kesan yang muncul adalah kurangnya langkah antisipatif dari otoritas,” kritiknya. Ia juga mempertanyakan efektivitas “stress test” dan pengawasan terhadap praktik manipulasi pasar.
Pelajaran dari Negara Tetangga
Nur Hidayat mencontohkan Filipina dan Vietnam sebagai negara yang berhasil memperkuat ketahanan pasar mereka melalui kebijakan yang lebih terarah.
“Otoritas keuangan Indonesia masih berkutat pada ego sektoral, terlihat dari inkonsistensi kebijakan seperti penurunan suku bunga BI di tengah rencana kenaikan PPN,” sindirnya.
Reformasi Jangka Panjang
Ia menyerukan perlunya reformasi struktural untuk membangun ketahanan pasar modal Indonesia. “Krisis ini adalah cermin kegagalan pembelajaran.
Menyalahkan faktor eksternal mudah, namun pembenahan internal adalah kunci untuk membangun pasar modal yang tangguh dan kredibel,” pungkasnya. Tanpa perubahan fundamental, Indonesia akan terus menghadapi tantangan besar di pasar keuangan global.***
Baca juga berita-berita menarik dialektika.id/ dengan klik Google News.
