Scroll untuk baca artikel
Politik

Revisi Tatib DPR : Kebutuhan atau ‘Kepentingan’?

3
×

Revisi Tatib DPR : Kebutuhan atau ‘Kepentingan’?

Sebarkan artikel ini

DIALEKTIKA (OPINI) — Beberapa waktu lalu public diguncang dengan adanya pengesahan revisi peraturan DPR RI Nomor 1 tahun 2020 tentang Tata Tertib. Pengesahan tersebut dilaksanakan dalam rapat paripurna yang digelar di Gedung DPR RI pada hari Selasa, 4 Februari 2025.

Revisi itu berupa tambahan pasal yakni 228A terkait kewenangan parlemen untuk mengevaluasi pejabat negara yang telah ditetapkan melalui hasil uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di lembaga legislatif tersebut yang mana dalam hal ini adalah DPR RI. Pada pasal 228A Ayat (1) dinyatakan bahwa “Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 227 ayat 2, DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.” Pada Ayat (2) dinyatakan “hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.”

Lantas apa yang menjadikan pengesahan revisi peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib menjadi polemik sehingga menimbulkan pro-kontra? Yaitu penambahan yang ada pada Pasal 228A tentang Tatib DPR dimana semua pejabat negara yang ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR bisa dievaluasi oleh DPR seperti pimpinan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU), hingga hakim Mahkamah Konstitusi (MK), serta hakim Mahkamah Agung (MA).

Prof. Yance Arizona seorang ahli hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menilai bahwa DPR telah ‘kebablasan’ dengan memperluas kewenangannya melalui perubahan Tata Tertib (Tatib) DPR tersebut.

Lebih lanjut dikatakan bahwa hasil revisi Tatib tersebut menganggu ketertiban ketatanegaraan yang bersandar pada prinsip checks and balances (pengawasan dan keseimbangan) antar Lembaga negara. Lebih lanjut dijelaskan bahwa penambahan kewenangan baru DPR tersebut berpotensi kian membuka intervensi dari DPR terhadap independensi Lembaga negara lain terutama berkaitan dengan penegakan hukum.

Hal ini pernah pernah terbukti ketika dicopotnya Hakim Aswanto dari jabatan hakim Mahkamah Konstitusi dengan dalih Hakim Aswanto yang tidak sejalan dengan kebijakan-kebijakan DPR saat itu.

Dalam praktiknya, penerapan Pasal 228A tentang Tatib DPR secara tidak langsung telah merusak fungsi pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) itu sendiri. Karena pada dasarnya adanya fungsi checks and balances adalah agar tercapainya pengawasan yang efektif dan tidak adanya intervensi antara Lembaga kekuasan yang satu dengan yang lainnya.

Ketika ada sebuah intervensi antara satu Lembaga kekuasaan terhadap Lembaga kekuasaan lainnya maka fungsi checks and balances tersebut tidak tercapai.

Selanjutnya, berkenaan dengan adanya uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) oleh DPR terhadap calon pejabat negara yang dipilih melalui DPR merupakan bentuk penyerahan kewenangan rakyat kepada DPR sebagai wakil rakyat agar pejabat yang menjalankan tugas nantinya memiliki kapasitas dan benar-benar sesuai dengan kebutuhan rakyat.

Bukan berarti DPR yang memiliki kewenangan untuk mengadakan fit and proper test terhadap calon pejabat suatu lembaga negara diperbolehkan untuk mengintervensi Lembaga negara tersebut.

Perlu diketahui bahwa kewenangan DPR dalam seleksi pimpinan Lembaga negara bukan dalam kerangka pemberian mandat imperatiff yang suatu saat bisa dicabut oleh DPR, akan tetapi Keputusan DPR dalam penyeleksian pimpinan Lembaga negara bersifat einmailig yaitu sekali setelah itu selesai dan tidak boleh diotak-atik lagi. Dan juga DPR dianggap telah gagal memahami makna frasa pengawasan yang merupakan salah satu fungsi DPR sebagaimana dalam Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 yang mana ditegaskan bahwa fungsi pengawasan yang melekat pada DPR ialah mengawasi organ pemerintahan laindalm menjalankan undang-undang.

Maka dapat dipahami bahwa yang diawasi oleh DPR adalah pelaksanaan Undang-Undang bukan kinerja personal dalam suatu Lembaga. Pun telah disepakati bahwa Tatib DPR hanya berlaku bagi Internal DPR itu sendiri dan tidak berlaku bagi Lembaga di luar DPR itu sendiri.

Dapat dipahami juga bahwa adanya pengesahan revisi peraturan DPR Pasal 228A tentang Tatib secara tidak langsung telah membuka peluang bagi DPR untuk mengintervensi Lembaga negara lainnya.

Penerapan Tatib ini juga berpotensi merusak fungsi checks and balances yang dianut dalam pemisahan kekuasaan di Indonesia. Dan juga secara tidak langsung DPR telah melampaui kewenangan dan fungsinya sebagai Lembaga legislative dalam konsep pemisahan kekuasaan.

Oleh karena itu, perlu adanya peninjauan dan pengkajian ulang terhadap Tatib DPR yang telah disahkan terutama berkaitan dengan kewenangan DPR sebagai Lembaga kekuasaan legislative agar kewenangan tersebut tetap pada porsinya dan supaya tercapainya fungsi checks and balances dalam hubungan antar Lembaga.***

Penulis: Kahlil Rida (Anggota Divisi Lomba dan Prestasi, UKM-F KPK, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *