Scroll untuk baca artikel
Politik

Misinterpretasi Fungsi Pengawasan dan Pengisian Jabatan Publik dalam Revisi Tatib DPR RI

3
×

Misinterpretasi Fungsi Pengawasan dan Pengisian Jabatan Publik dalam Revisi Tatib DPR RI

Sebarkan artikel ini

DIALEKTIKA (OPINI) — Revisi kilat tatib DPR tentang Peraturan DPR No.1 Tahun 2020 dengan perluasan kewenangan legislatif menambah list kontroversi yang melanda sistem ketatanegaraan Indonesia.

Ihwal revisinya, DPR mencantumkan kewenangan dalam melakukan evaluasi, bahkan pada tahap lanjut dapat mencopot pejabat negara yang melalui mekanisme seleksi di DPR. Kewenangan ini berpotensi dijadikan senjata untuk mengekang pejabat negara yang dalam proses seleksinya terdapat andil DPR didalamnya.

Hal ini, sejatinya sangat bertentangan dengan konsep pemisahaan kekuasaan (separation of powers) serta akan menggeser prinsip cheks and balances kearah intervensi bahkan pengekangan.

Pada dasarnya, perluasan kewenangan yang dicanangkan dalam revisi tatib DPR berlandaskan pada dua fungsi pokok DPR, yakni fungsi pengawasan dan fungsi pengisian jabatan publik. Secara konstitusional, telah dinyatakan secara eksplisit berdasarkan pasal 20A ayat 1 bahwa salah satu fungsi DPR adalah “fungsi pengawasan”.

Konsekuensi dengan adanya fungsi tersebut adalah DPR sebagai representasi rakyat yang berwenang untuk membentuk undang-undang, juga memiliki kewenangan untuk mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang maupun jalannya pemerintahan.

Bahkan, dalam konstruksi sistem presidensial, dengan fungsi ini DPR dapat memberikan usulan kepada MPR dalam ihwal pemakzulan (impeachment) dengan mekanisme penerobosan karakter fix-term sistem presidensial.

Fungsi selanjutnya yang menjadi basic foundation perluasan kewenangan DPR dalam revisi tatib DPR adalah terkait erat dengan fungsi pengisian jabatan publik atau rekrutmen politik.

Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa dalam pengisian jabatan publik beberapa lembaga negara, DPR memiliki kewenangan baik dalam memilih melalui mekanisme fit and proper test maupun memberikan persetujuan bersama presiden.

Kewenangan ini diantaranya dapat dilihat dalam pengisian pejabat lembaga negara seperti: hakim agung, tiga hakim konstitusi, anggota BPK. Maupun pengisian komisi negara independen seperti Komisi Yudisial, Komisioner KPK, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan lain sebagainya. Lembaga-lembaga negara tersebutlah yang kemudian terancam independensi dan netralitasnya dengan adanya revisi tartib DPR.

Namun, bila ditelaah lebih lanjut terkait landasan yang didalilkan DPR untuk memperluas kewenangannya dalam revisi tatib DPR, sejatinya terdapat misinterpretasi baik terkait fungsi pengawasan maupun fungsi pengisian jabatan publik (political recruitment).

Patut diketahui, bahwa fungsi pengawasan sangat terkait erat dengan pelaksanaan hak-hak kelembagaan DPR baik itu hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat sebagaimana yang diatur dalam pasal 20A ayat 2 UUD NRI 1945. Sehingga, fungsi pengawasan DPR dapat efektif ketika pelaksanaan ketiga hak tersebut berjalan dengan baik (optimal).

Selain itu, ihwal fungsi pengisian jabatan publik juga terdapat kekeliruan pemaknaan didalamnya. DPR dalam fungsinya, hanya berwenang dalam pengisian jabatan publik, baik itu memilih atau bahkan sebatas menyetujui atau tidak menyetujui.

Hal ini dimaksudkan sebagai mekanisme checks and balances antara DPR dan eksekutif (presiden) dalam pengisian jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan.

Sedangkan, perihal pemberhentian tiap-tiap Lembaga haruslah dilakukan sesuai prosedur pemberhentian sebagaimana yang diatur dalam UU tiap lembaga terkait, maupun peraturan yang lebih khusus lainnya. Sehingga, pemberhentian yang dimaksud tidak dilakukan secara serampangan dan sewenang- wenang.

Dengan demikian, Implementasi hak-hak kelembagaan DPR sejatinya perlu dioptimalkan tidak hanya sebagai mekanisme kontrol terhadap lembaga eksekutif, tetapi juga sebagai pengawasan terhadap lembaga-lembaga yang terdapat andil DPR dalam pengisiannya.

Dengan optimalisasi hak-hak DPR, fungsi pengawasan dapat berjalan optimal dan lebih berdasar pada landasan yang lebih rasional dan akuntabel. Melalui tiga hak kelembagaannya, DPR dapat meminta keterangan (interpelasi), melakukan investigasi, serta pada tahap akhir dapat menyatakan pendapat atas hasil penyelidikan kebijakan, maupun keputusan pejabat negara yang

dipilih melalui mekanisme di DPR, untuk kemudian memberikan “rekomendasi” kepada pejabat yang berwenang dalam hal pemberhentian lembaga-lembaga terkait.

Dalam mekanisme evaluasi tersebut, terhadap lembaga-lembaga yang berada dalam ranah eksekutif, DPR dapat memberikan rekomendasi terhadap presiden untuk memberhentikan pejabat negara, bila dalam pelaksanaan fungsi pengawasannya terdapat bukti bahwa pejabat terkait tidak memenuhi syarat lagi untuk mengemban amanah tersebut.

Demikian pula, terhadap lembaga-lembaga negara independent, DPR dapat memberikan rekomendasi terhadap pimpinan masing-masing alat kelengkapan lembaga, untuk kemudian memberhentikan pejabat-pejabat yang bermasalah.

Akan tetapi yang perlu digaris bawahi, pemberhentian lembaga-lembaga pilihan harus didasarkan pada prosedur pemberhentian tiap lembaga sehinggga konstitusional dan tidak mengarah pada abuse of power.

Oleh karena itu, ketimbang memperluas kewenangan DPR dalam mengevaluasi dan mencopot pejabat-pejabat pilihan, mekanisme pengoptimalan fungsi pengawasan DPR melalui hak-hak kelembagaannya dapat menjadi solusi yang lebih implementatif untuk mengoptimalkan fungsi pengawasan DPR terhadap pejabat-pejabat pilihan, namun tetap dalam kerangka checks and balances tanpa mencampuri terlalu jauh urusan lembaga-lembaga terkait, yang pada akhirnya bahkan dapat meretrogresi independensi lembaga-lembaga tersebut.***

Penulis: Muh Zikril (Anggota Divisi Diskusi dan Riset, UKM-F KPK, UIN Sunan Kalijaga)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *