DIALEKTIKA OPINI — Kedaulatan Semu dan Eksploitasi Papua di Bawah Kedok Otonomi Khusus
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”.
Pernyataan ini bukan sekadar nomenklatur konstitusional, melainkan sebuah prinsip fundamental yang mengandung makna mendalam. Namun, dalam praktiknya, makna republik kerap terdistorsi menjadi sekedar legitimasi elektoral bagi penguasa, di mana rakyat hanya diberi ruang untuk memilih pemimpin dan wakil mereka, tetapi tidak benar-benar memiliki ruang ruang yang lebih deliberatif untuk menentukan arah kebijakan negara.
Prinsip ini sejalan dengan esensi republikanisme, yang menegaskan bahwa rakyat tidak boleh sekadar menjadi objek dalam pemerintahan, melainkan harus berperan aktif dalam menentukan kebijakan publik. Republikanisme bukan hanya tentang mekanisme pemilihan pemimpin, tetapi juga tentang partisipasi politik yang nyata dan deliberatif.
Ironisnya, dalam sistem negara yang mengklaim dirinya sebagai republik, kedaulatan rakyat sering kali tereduksi menjadi sekedar prosedur elektoral lima tahunan, sementara ruang partisipasi substantif mereka terus menyempit.
Jika republik hanya diterjemahkan sebagai keberadaan seorang presiden hasil pemilihan langsung dan anggota DPR sebagai wakil rakyat, tetapi rakyat itu sendiri tetap tersingkir dari dinamika pemerintahan yang menentukan nasib mereka, maka ada kegagalan dalam mewujudkan makna sejati dari republik itu sendiri.
Secara konstitusional, Indonesia juga menegaskan dirinya sebagai negara yang berdaulat di tangan rakyat yang termaktub pada pasal 1 ayat (2) UUD 1945, bunyinya jelas: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Namun, apakah rakyat benar-benar menjadi pemegang kedaulatan dalam praktiknya atau justru kedaulatan itu hanya menjadi narasi yang dipinjam oleh segelintir elite untuk memperkuat legitimasi kekuasaan mereka.
Masih dalam satu tarikan nafas yang sama, pasal 1 ayat (3) juga memuat aspek hukumnya yakni “Negara Indonesia adalah negara hukum”, yang secara prinsip mengikat setiap warga negara dan penguasa untuk bertindak sesuai hukum.
Terkadang hal ini menjadi formalitas semata saja produk produk hukum yang dihasilkan oleh negara kesatuan ini sejatinya tidak pernah memihak kepada rakyat melainkan hanya produk akhir dari manuver politik para elite yang digunakan sebagai alat legitimasi untuk melegalkan berbagai kepentingan mereka sendiri.
Salah satu realitas yang terjadi di Papua Selatan, khususnya Merauke, menunjukkan bagaimana norma hukum yang seharusnya sistematis justru saling bertabrakan tanpa demarkasi yang jelas.
Proyek Strategis Nasional (PSN) di sektor food estate yang diklaim sebagai kepentingan nasional hadir dengan merusak lingkungan tanpa mempertimbangkan hak masyarakat adat atas tanah mereka. Ironinya, hasil pertanian dari proyek ini tidak membawa dampak ekonomi yang berarti bagi masyarakat setempat mereka kehilangan akses terhadap sumber daya sendiri, sementara hasil panen dikomersialisasikan tanpa kejelasan manfaat atau dampak ekonominya bagi mereka.
Bahkan, masyarakat adat harus membeli kembali hasil pertanian yang berasal dari tanah mereka sendiri, menciptakan absurditas hukum dan ekonomi yang merugikan mereka.
Kontradiksi ini kian tajam saat kedaulatan rakyat di Papua hanya menjadi slogan. Sebagai daerah Otonomi Khusus, Papua seharusnya punya kewenangan luas, tetapi kontrol pusat tetap dominan. Demarkasi kewenangan kabur, sementara kepentingan kekuasaan dan kroninya terus mendikte pengelolaan sumber daya alam, meski UU Nomor 2 Tahun 2021 jo UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, seharusnya melindungi hak masyarakat.
Proyek food estate di Merauke, Papua Selatan, mencakup lahan seluas sekitar 2 juta hektare sebagai bagian dari program ketahanan pangan nasional. Proyek ini sudah tercatat meliputi cetak sawah seluas 1,18 juta hektare untuk pertanian padi, serta perkebunan tebu sekitar 1,11 hektare yang dikelola oleh beberapa konsorsium agribisnis raksasa, perusahaan perkebunan skala industri, serta investor yang memiliki akses erat dengan pusat kekuasaan.
Perlu diketahui 1,18 juta hektare itu yang dilakukan di Kampung Wanam, Distrik Ilwayaab, Kabupaten Merauke adalah merupakan hutan rawa alami atau kategori hutan primer yang di babat habis dan di konversi menjadi lahan industri pertanian.
Mirisnya adalah sebagian besar wilayah Papua Selatan dengan bentang alamnya yang didominasi dataran rendah tanpa pegunungan, sejatinya telah dikaruniai solusi alamiah oleh Tuhan untuk mengatasi tantangan geografisnya.
Hamparan hutan luas yang berfungsi sebagai penopang ekosistem dan penjaga keseimbangan lingkungannya. Namun, bukannya menghormati harmonisasi Sang Pencipta yang telah terbentuk sejak lama manusia justru yang dengan sendirinya hendak melanggar kehendak Tuhan tersebut. Hutan rawa yang selama ini menjadi penopang keseimbangan lingkungan perlahan lenyap, meninggalkan tanah yang tak lagi mampu menahan limpahan air.
Akibatnya, ancaman banjir bukan lagi sekadar kemungkinan, melainkan kepastian yang tinggal menunggu waktu. Ironisnya, kehancuran ini bukan sekedar merampas hak hidup flora dan fauna yang telah lama bergantung pada hutan-hutan tersebut, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup manusia sendiri.
Tanpa hutan primer yang mampu menampung dan mengatur volume air, wilayah tersebut kian rentan terhadap bencana ekologis yang tak terhindarkan, banjir yang akan menghapus jejak kehidupan yang tersisa, meninggalkan hanya kepedihan di tanah yang seharusnya menjadi warisan bagi generasi mendatang. Apa daya lagi peristiwa tersebut sudah terjadi dan masyarakat lokal setempat hanya bisa meratapi nasib alam mereka yang sudah digerus satu persatu, mereka juga tidak berdaya secara kapasitas daya tawar bagaimana tidak masyarakat adat setempat yang merasa terancam kehilangan ruang hidup mereka, malah ditambah lagi dengan kehadiran pasukan TNI yang turut mengawal proyek ini yang secara tidak langsung memberikan efek psikologis kepada mereka dan lebih lebih para elite politik lokalnya pun hanya terdiam juga menyaksikan realitas seperti itu.
Hukum yang Statis untuk Melegitimasi Kepentingan Oligarki
Praktik yang dilakukan oleh negara tidak hanya merusak alam melainkan merusak citra hukum yang seharusnya menjadi corong dari keadilan. Sederhana dalam perspektif hukumnya begini UU Otsus Papua itu adalah lex specialis dari UU sektoral lainnya yang setara dengannya dan seharusnya mengesampingkan aturan yang bersifat umum lex generalis atau sektoral itu.
Secara statisnya begini PSN di bidang food estate yang bersinggungan langsung dengan pembukaan lahan di Merauke paling tidak menunggangi beberapa produk hukum yakni Perpres No. 109 Tahun 2020 Peraturan ini tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan PSN, yang menetapkan daftar terbaru dengan 201 proyek dan 10 program strategis, dengan nilai investasi mencapai Rp4.809,7 triliun.
Perpres ini juga menekankan penciptaan lapangan kerja dan percepatan investas yang memasukkan program peningkatan penyediaan pangan nasional atau food estate sebagai salah satu dari 10 daftar PSN tersebut. Perpres No. 40 Tahun 2023 Perpres ini memuat roadmap percepatan swasembada, termasuk peningkatan produktivitas tebu melalui praktik agrikultur yang mana lahan di Merauke merupakan salah satu roadmap di dalamnya . Perpres No. 84 Tahun 2023 Perpres ini memuat Pemutakhiran RKP Tahun 2024 berkaitan dengan PSN food estate Merauke karena memperbarui rencana kerja pemerintah yang dapat mencakup program-program strategis nasional seperti food estate. Selanjutnya, Keppres Nomor 15 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan yang diketuai oleh bahlil.
Namun, sebelum diturunkan menjadi Perpres, validitas PSN didasarkan pada undang-undang sektoral yang relevan dengan pembangunan infrastruktur. Undang-undang sektoral tersebut pada intinya sudah termuat dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang yang mana dalam regulasi ini cenderung longgar seperti mempercepat perizinan dan penyederhanaan regulasi guna mendukung efisiensi PSN.
UU Pengadaan Tanah, UU PPLH, dan UU Kehutanan telah diserap dalam skema omnibus UU Cipta Kerja, yang dirancang untuk mengukuhkan legitimasi kekuasaan. Regulasi ini tidak hanya tumpang tindih, tetapi juga memperjelas bahwa UU Cipta Kerja adalah instrumen legal bagi eksploitasi oligarki, mengabaikan aspek lingkungan dan hak masyarakat.
Tapi di balik semua itu, substansi utama hukum yang seharusnya ditegakkan adalah keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. Beberapa UU sektoral sebenarnya mengakui eksistensi alam dan masyarakat sebagai entitas yang harus diperhitungkan, tetapi UU Cipta Kerja justru mereduksi prinsip tersebut dengan melonggarkan proses perizinan dan penyusunan regulasi, sehingga substansi keadilan yang seharusnya dijunjung malah diabaikan begitu saja.
Disinilah peran UU Otsus Papua itu menjadi benteng terakhir untuk mengaktifkan asas Lex Specialis Derogat Legi Generali yang mana hukum khusus menggantikan hukum umum. Idealnya, UU Otsus Papua seharusnya berwenang penuh atas regulasi sektoral, karena hak ulayat masyarakat adat bersifat fundamental dan telah dilindungi secara eksplisit.
Salah satu cerminan dari UU Otsus Papua itu merupakan lex specialis bisa dilihat dalam pasal 38 UU Otsus Papua menegaskan bahwa perekonomian Papua harus berorientasi pada kemakmuran rakyat dengan prinsip keadilan dan pemerataan, sekaligus tetap terintegrasi dalam sistem ekonomi nasional dan global. Pemanfaatan sumber daya alam wajib menghormati hak masyarakat adat, memberikan kepastian hukum bagi pengusaha, serta memastikan pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Hal ini harus diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) sebagai bentuk kewenangan daerah dalam pengelolaan sumber daya. Bab XI UU Otsus Papua secara khusus menetapkan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat sebagai lex specialis, termasuk dalam Pasal 43 yang mewajibkan penggunaan tanah adat berdasarkan izin masyarakat adat melalui konsultasi yang tepat serta kompensasi yang layak, dan juga pasal 44 mengamanatkan perlindungan hak kekayaan intelektual masyarakat adat, sementara Bab XII menegaskan perlindungan HAM bagi masyarakat Papua.
Ketimpangan hukum yang terjadi mencerminkan bagaimana determinasi politik membentuk dan mempengaruhi hukum secara nyata. Campur tangan politik yang dominan dalam perumusan serta implementasi hukum sering kali berujung pada distorsi norma hukum itu sendiri, sehingga menghasilkan kecacatan dalam penegakannya. Jika kita refleksikan secara sederhana apakah iya dilingkaran kekuasaan itu sendiri tidak memiliki para teknokrat hukum yang paham akan teknis teknis hukum seperti hal ini ? tentu saja tidak, banyak ahli hukum yang mapan akan hal seperti ini, tapi ada daya determinasi perilaku politik lebih mendominasi praktik hukum yang sesungguhnya, dengan kata lain hukum hanyalah corong dari perilaku perilaku politik kekuasaan tanpa mementingkan substansi dari hukum itu sendiri.
Apakah ini juga yang dimaknai sebagai desentralisasi asimetris melalui Otsus Papua itu, atau hanya basa basi serius oleh pusat untuk terus melanggengkan sentralisasi asimetris mereka?
Basa-Basi Otonomi Khusus Papua
Seharusnya, dengan adanya Otonomi Khusus, pemerintah daerah memiliki kewenangan lebih untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dan memastikan kebijakan pembangunan tidak mengorbankan keberlanjutan lingkungan serta kehidupan sosial masyarakat.
Namun, kenyataannya, elit politik lokalnya pun seolah kehilangan daya dalam menghadapi dominasi pemerintah pusat beserta kroninya. Mereka lebih sering menjadi perpanjangan tangan kebijakan pusat ketimbang menjadi pembela kepentingan rakyat populis yang mereka wakili.
Dalam konteks ini, masyarakat di Merauke khususnya masyarakat adat menjadi cerminan paling jelas dari bagaimana kedaulatan rakyat yang dijanjikan dalam konstitusi tidak termanifestasi dalam kehidupan kewarganegaraannya. Negara kesatuan yang berbentuk republik berdasarkan kedaulatan rakyat ini justru hanya terus fokus melanggengkan praktik kepentingan kekuasaannya yang sentralistik, menjadikan rakyat sebagai alat legitimasi saja bukan sebagai subjek politik yang berdaulat atas dirinya dan kedaerahannya.
Sebelum lebih banyak tanah, hutan, dan hak ulayat hilang atas nama pembangunan, masyarakat Merauke harus menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa kedaulatan atas tanah mereka tak bisa diserahkan pada mekanisme politik yang hanya berpihak pada kekuasaan. Kesadaran ini membutuhkan pondasi pendidikan politik yang mapan agar kepentingan yang publik benar-benar diutamakan, bukan mendahului kepentingan privat yang hanya menguntungkan segelintir elite.
Sayangnya, pendidikan secara umum saja di Papua masih belum berkembang mapan, sebuah kondisi yang tak lepas dari strategi kekuasaan dalam mempertahankan ketimpangan. Ketergantungan Papua pada pusat bukanlah fenomena alami, melainkan bentuk kontrol dominasi yang membatasi kapasitas politik masyarakat, seakan-akan kewenangan hanya tumbuh dalam Otsus, bukan dalam setiap individu Papua. Karena itu, kesadaran ini harus menjadi landasan ideologis bagi setiap warga untuk mempertahankan kedaerahannya, bukan sekadar berlindung di balik basa-basi Otsus yang sangat serius itu.**
Penulis: Maleakhi Samuel Pasalli (Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan Universitas Gadjah Mada)
