DIALEKTIKA KUNINGAN — Di bawah langit biru yang melukis pagi hari, Bupati Kuningan, Dr. H. Dian Rachmat Yanuar, M.Si, melangkah ke Sumur Tujuh Cikajayaan bak seorang penjaga yang hendak mendengar bisikan sejarah.
Jumat itu, Maret 2025, setelah melaksanakan giat Gerakan Pangan Murah (GPM) di Desa / Kecamatan Pasawahan, Bupati Kuningan mengunjungi mata air yang menyimpan cerita, tempat di mana alam dan budaya bertemu dalam harmoni yang sempurna.
Ia mengatakan, suaranya mengalun seperti gemericik air yang mengalir tenang, menyentuh makna terdalam dari air yang jernih ini, seperti beningnya hati yang menjaga anugerah Sang Pencipta.
Dian Rachmat Yanuar berkunjung ke Sumur Tujuh Cikajayaan, didampingi bersama Wakil Bupati Kuningan, Hj. Tuti Andriani, S.H., M.Kn., dan disambut perangkat pemerintahan Desa Pasawahan serta seorang Juru Kunci.
Di tempat itu, Sumur Tujuh Kajayaan menjadi symphony alam. Air mengalir lembut seperti irama doa, berpadu dengan harmoni kicauan burung dan desau angin yang menari di antara dedaunan lebat. Pohon-pohon tua berdiri bak penjaga waktu, menaungi tempat suci itu dengan kesejukan yang merasuk hingga ke jiwa.
“Jika kita menjaga alam, maka alam pun akan menjaga kita. Semoga kita semua dapat merawat limpahan alam, terutama mata air, sebagai anugerah yang diberikan Allah SWT,” ujar Dian Rachmat Yanuar.
Ia seakan berbicara kepada generasi mendatang melalui aliran bening di hadapannya. Air itu bukan hanya kebutuhan hari ini, melainkan warisan bagi mereka yang belum lahir, seperti lagu abadi yang tak pernah usang. Suaranya mengalun bersama angin pagi. Seperti doa yang melingkupi, pesan itu mengingatkan bahwa pelestarian bukan hanya tugas, tetapi panggilan hati.
Sejarah Sumur Tujuh Cikajayaan
Sumur Tujuh Cikajayaan bukan sekadar mata air, tetapi juga buku sejarah terbuka. Menurut Abah Otong, sang Juru Kunci, air ini adalah jejak langkah Mbah Si Kajayaan, wali penyebar Islam yang menanamkan iman di tanah Pasawahan. Setiap tetes airnya adalah kisah, setiap alirannya adalah pelajaran.
Sang juru kunci dengan penuh cinta dan tanggung jawab, menjaga tradisi leluhur di tempat ini. Ia adalah penjaga nyala tradisi, memastikan Sumur Tujuh tetap menjadi tempat berbagi kearifan dan keseimbangan hidup.
“Dahulu, di sini hadir Mbah si Kajayaan, seorang wali dari Kacirebonan. Karena daerah ini pada masa lalu masuk dalam wilayah Kacirebonan, petilasan ini menjadi bukti nyata bahwa Wali penyebar Islam pernah singgah dan membawa ajaran agama ke Desa Pasawahan,” terang Abah Otong.
Ia juga menjelaskan bahwa masyarakat Desa Pasawahan menerima syiar Islam secara langsung dari para Wali. Hingga saat ini, petilasan tersebut tetap menjadi sumber penghidupan yang penting bagi warga sekitar. “Alhamdulillah, saya diberi kepercayaan oleh para sesepuh Desa Pasawahan untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai kebudayaan yang ada di Sumur Tujuh Cikajayaan,” tukas Abah Otong penuh syukur.
Air di Sumur Tujuh sangat jernih dan memiliki banyak manfaat bagi warga setempat. Selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mata airnya juga digunakan untuk ritual membersihkan diri, termasuk untuk bersuci. “Namun, penggunaannya tetap kembali kepada keyakinan dan preferensi masing-masing individu,” ujar sang Kuncen.
Saat ini, Sumur Tujuh Cikajayaan telah menjadi salah satu destinasi wisata religi yang banyak menarik perhatian pengunjung. Perjalanan menuju lokasi ini membutuhkan waktu sekitar 45 menit dari wilayah Kuningan kota, sementara jika dari Kota Cirebon waktu tempuhnya lebih dari satu jam.
Cermin Kehidupan di Sumur Tujuh Cikajayaan
Di tempat ini, masyarakat menemukan keseimbangan. Airnya tak hanya membersihkan tubuh, tetapi juga menjadi penawar jiwa. Seperti hujan di gurun, ia adalah kehidupan yang terus dirawat oleh mereka yang mengerti maknanya.
Kunjungan Bupati Kuningan ini juga membuka lembaran baru diskusi bersama Abah Otong dan Kepala Desa Pasawahan. Rencana penataan yang lebih alami menjadi mimpi bersama, menjadikan Sumur Tujuh Cikajayaan bukan hanya situs sejarah, tetapi juga oase bagi para pencari ketenangan.
Di sini, setiap langkah adalah perjalanan spiritual. Sumur Tujuh Cikajayaan, dengan kejernihan airnya, adalah cermin yang memantulkan kebesaran Tuhan. Warga sekitar menggantungkan hidup pada aliran ini, seperti daun yang tak bisa lepas dari rantingnya.
Abah Otong, dalam kebijaksanaannya, menjaga tradisi dengan penuh cinta. Ia adalah penjaga nyala lentera yang terus menyala, memastikan Sumur Tujuh tetap menjadi tempat berbagi, belajar, dan bersyukur.
Mata air ini, yang jernihnya seakan tak pernah pudar, adalah simbol dari harmoni. Ia menyatu dengan alam, seperti pelukan lembut yang menenangkan. Sumur Tujuh adalah bukti bahwa kehidupan sejati adalah ketika manusia dan alam berjalan seiring, dalam simfoni yang tak terputus.
Dan kini, tempat ini telah menjadi tujuan hati para peziarah, mereka yang mencari kedamaian di tengah hiruk-pikuk dunia. Sumur Tujuh Cikajayaan adalah saksi bisu dari kasih Tuhan yang meneteskan berkah-Nya, menjadi aliran cinta yang tak pernah berhenti.***
Baca juga berita-berita menarik dialektika.id/ dengan klik Google News.
