DIALEKTIKA KUNINGAN — Keputusan mengejutkan Bupati Kuningan, Dr. H. Dian Rachmat Yanuar, untuk membatalkan hasil seleksi terbuka (open bidding) jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) menimbulkan pertanyaan besar di kalangan pengamat dan masyarakat sipil.
Alih-alih mendapatkan Sekda definitif dari tiga kandidat terbaik yang telah melalui proses ketat, Bupati memilih untuk memulai kembali seleksi dengan dalih ingin membentuk “tim birokrasi yang lebih solid.”
Keputusan ini, meski diklaim demi kebaikan daerah, berpotensi mencederai prinsip-prinsip meritokrasi dan transparansi dalam birokrasi. Proses open bidding yang telah menghabiskan waktu, tenaga, dan anggaran ratusan juta rupiah kini menjadi sia-sia.
Pembatalan ini seolah menegaskan bahwa hasil seleksi, yang seharusnya menjadi acuan objektif, dapat dengan mudah dimentahkan demi pertimbangan politis atau selera pribadi pimpinan daerah.
“Jabatan Sekda adalah ‘panglima ASN.’ Saya ingin memastikan posisi itu diisi ‘yang terbaik dari yang baik,’” ujar Bupati Dian, Jumat 15 Agustus 2025.
Bupati mengungkapkan bahwa pihaknya telah memperoleh izin dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menyelenggarakan seleksi ulang. Proses ini akan tetap terbuka bagi ketiga kandidat sebelumnya dan dianggarkan kurang dari Rp400 juta.
Ia menegaskan, transparansi dan akuntabilitas tetap menjadi prinsip utama dalam proses rekrutmen pejabat tinggi pratama tersebut.
Langkah ini sekaligus menandai dimulainya babak baru dalam penentuan Sekda Kuningan definitif yang akan mengawal arah pembangunan hingga akhir masa jabatan Bupati—Dalam proses ini, tentunya masyarakat Kuningan berharap pemerintah bisa menjamin objektivitas serta tidak menyia-nyiakan anggaran dengan hasil seleksi yang kemudian diabaikan.
Pernyataan ini menuai kritik karena menafikan fakta bahwa proses seleksi sebelumnya sudah menghasilkan tiga nama yang dianggap “terbaik” berdasarkan serangkaian uji kompetensi.
Muncul dugaan bahwa pembatalan ini terkait dengan ketidakcocokan politik atau preferensi pribadi Bupati terhadap salah satu kandidat.
Pembatalan ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang efisiensi anggaran. Bupati menyatakan bahwa seleksi ulang hanya membutuhkan “tidak sampai Rp400 juta.”
Namun, publik mempertanyakan mengapa anggaran harus dikeluarkan lagi untuk proses yang sama, padahal hasil dari proses pertama sudah tersedia. Ini mengindikasikan adanya pemborosan anggaran publik yang seharusnya bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain.
Saat ini, jabatan Pj Sekda masih dipegang oleh Beni, yang sudah dua kali diperpanjang masa jabatannya. Kekosongan Sekda definitif yang berkepanjangan ini dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas roda pemerintahan daerah.
Penunjukan Pj Sekda secara terus-menerus, sementara proses seleksi berulang, berpotensi melemahkan peran strategis Sekda dalam mengkoordinasikan seluruh perangkat daerah.
Masyarakat Kuningan kini menunggu kelanjutan dari drama birokrasi ini dengan harapan proses seleksi ulang bisa berjalan lebih transparan dan objektif.
Jika tidak, keputusan ini akan menjadi preseden buruk bagi tata kelola pemerintahan yang baik di daerah, di mana integritas dan profesionalisme birokrasi bisa dengan mudah dikalahkan oleh kepentingan politis.***
Baca juga berita-berita menarik dialektika.id/ dengan klik Google News.
