DIALEKTIKA — Isu pungutan dalam rekruitmen PT Fashion Stitch Joshua jadi kontroversi di lingkungan masyarakat Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Diketahui, Jumat 25 November 2022, Komisi I DPRD Kuningan melakukan kunjungan ke lokasi pembangunan PT Fashion Stitch Joshua, di Desa Cieurih, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Kuningan.
Ihwal isu pungutan dalam rekruitmen PT Fashion Stitch Joshua ketika dikonfirmasikan kepada Ketua Komisi I DPRD Kuningan, Rany Febriani, menjawab bahwa pihak perusahaan menyatakan kepadanya tidak mengakui adanya pungutan yang dimaksud.
“Ketika kami bersama jajaran Komisi I DPRD Kuningan mengunjungi PT Fashion Stitch Joshua, mengenai isu tersebut pihak perusahaan mengatakan tidak mengakui meminta pungutan kepada pelamar kerja,” ungkapnya.
Usut punya usut punggutan tersebut diduga dilakukan oleh pihak ketiga ataupun swasta uang melaksanakan tahapan rekruitmen PT Fashion Stitch Joshua untuk mengisi lowongan kerja di sana.
“Katanya sih pelamar harus menyerahkan sejumlah uang itu untuk biaya pelatihan. Untuk lebih jelasnya harus dikonfirmasikan ke Disnakertrans,” tukas Rany.
Selain itu, disebutkannya perihal izin usaha dari PT Fashion Stitch Joshua sudah memenuhi persyaratan.
Terpisah, soal pungutan rekruitmen PT Fashion Stitch Joshua ketika ditanyakan kepada organisasi buruh LION (Local Initiative for OSH Network) Indonesia, Senin 28 November 2022, dijawab Ajat Sutardi, seharusnya perusahaan menerima pekerja sesuai kualifikasi pekerjaan yang tersedia, jangan sampai merekrut SDM tanpa kompetensi.
Sehingga, untuk melatih lebih lanjutnya bisa dalam tahapan on the job training ketika pelamar sudah lulus tes seleksi rekruitmen menjadi tanggung jawab pemberi kerja.
“Namun bisa juga menjadi dugaan suap menjurus korupsi jika pungutan itu benar adanya dipaksakan kepada para pelamar. Kecuali jika pelatihan yang dimaksud untuk sertifikasi kompetensi pekerja pribadi bisa saja berbayar,” tegas Jeath Tardi sapaan akrabnya.
Diutarakannya, kalau konteksnya lembaga outsorching atau penyedia kerja jasa tenaga kerja memang kebanyakan kerap melakukan praktek seperti itu. Jika buruh atau pekerja tidak dipungut diawal biasanya nanti upah dipotong tiap bulan.
“Ranahnya abu-abu karena Omnibus Law, apalagi kalau ada kesepakatan si calon pekerja dengan lembaga outsourching,” bebernya.
Intinya menurut Jeath Tardi dari LION (Local Initiative for OSH Network) Indonesia, bahwa outsourching dikritik dan ditolak karena tidak memberikan kepastian status kerja bagi buruh. Ditambah upah tidak layak bagi pekerja, apalagi kalau ada potongan untuk lembaga outsourching/alih daya , dan tidak ada jaminan lainnya seperti status karyawan tetap.***
Baca juga berita-berita menarik Dialektika.id dengan klik Google News.